Cinta Tak Pernah Tua


Tulis Judul yang SEO Friendly
Caption gambar
Detail Buku :
Judul Buku   : Cinta Tak Pernah Tua
Penulis        : Benny Arnas
Penerbit      : PT Gramedia Pustaka Utama
Kategori      : Antologi Cerpen
Tebal Buku  : vi + 132 halaman
Cetakan       : (Pertama) September 2014
Resensi :
Dalam kelas resensi kedua Komunitas Aleut, saya mengangkat antologi Benny Arnas berjudul “Cinta Tak Pernah Tua” sebagai bacaan yang akan saya resensi. Benny Arnas, pemuda kelahiran Lubuklinggau, Sumatera Selatan, termasuk nama baru dalam dunia penulisan sastra Indonesia. Karya pertamanya yang berjudul Meminang Fatimah terbit tahun 2009. Tahun tersebut, tahun yang sama ketika ia menerima Hadia Sastra Batanghari dari Gubernur Sumatera Selatan mengawali kiprahnya dalam penulisan sastra.
“Cinta Tak Pernah Tua” merupakan kumpulan cerpen-cerpen Benny Arnas yang pernah dimuat di pelbagai media ternama seperti Jawa Pos, Republika, dan Media Indonesia. Terdapat 12 cerpen dalam antologi ini yang saling kait-mengait antara satu cerpen dengan lainnya. Ini pula yang menjadi kelebihan dari antologi cerpen ini. Umumnya, antologi cerpen yang pernah saya baca keterkaitan terbentuk dalam cakupan tema atau penulis, namun antologi menawarkan keterkaitan persoalan yang menimpa tokoh utama dengan orang-orang terdekatnya. Tokoh utama dalam antologi ini adalah Tanjung Samin, seorang veteran dengan riwayat memiliki lima istri. Dari istri pertamanya, Maisarah, Samin memiliki tiga orang anak yaitu Musral, Badri, dan Misral. Kedua anak mereka yaitu Musral, Badri mati diusia muda pada musim hujan panas.
Tema dalam antologi ini beragam mulai dari kehilangan anak, kesetiaan, poligami, hingga kecemburuan mewarnai kehidupan Samin. Dari 12 cerpen dalam Cinta Tak Pernah Tua, ada dua cerpen yang saya sukai yaitu “Belajar Setia” dan “Senja yang Paling Ibu”. Pada cerpen Belajar Setia mengisahkan Misral, salah seorang anak Samin  pergi menemui Mayang Nilamsari binti Umar Hamid atas permintaan ayahnya. Mayang tak lain dan tak bukan merupakan bekas pacar ayahnya, keturunan persirah2) di Kayuara. Ketika Samin melamarnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, keluarga persirah Kayuara ini menolak lamaran tersebut. Samin yang patah hati memilih menerima perjodohannya denga Maisarah Syukur, kerabat jauhnya tanpa mengetahui bahwa kekasih yang memilih untuk hidup melajang seumur hidupnya, menanti kedatangan Samin.
Saat saya membaca cerpen pertama dalam antologi yaitu “Pengelana Mati dalam Hikayat Kami”, Benny Arnas menempatkan dirinya seorang narator dalam pertunjukkan teater dengan memberi sapaan kepada pembaca.  ”Kepada mereka, ingin kukenalkan dirimu. Karena kau adalah mula segala cerita dan hikayat di atas hikayat…”. Gaya penulisan yang mengingatkan saya pada cerpen “Robohnya Surau Kami”. Sebelum menuturkan cerita, AA Navis juga melakukan hal yang sama “Kalau beberapa tahun yag lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar…” Dalam cepen “Senja Paling Ibu”, Benny Arnas secara jelas membagi tubuh cerpen tersebut menjadi mukhadimah dan khatimah. Gaya penulisan ini menimbulkan kedekatan antara pembaca dan penulis seperti ibunda yang mendongengkan sebuah hikayat kepada anaknya sebelum tertidur.
Dalam Antologi cerpen ini Benny Arnas mencoba mengangkat suasana kehidupan masyarakat pedesaan Melayu di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan pasca kemerdekaan (sekitar 1950-an hingga 1990-an). Kiasan-kiasan, diksi serta frasa-frasa yang kental dengan nuasa Melayu hadir menjadi pemanis setiap kisah dalam antologi ini seperti waktu meninggikan dan menggemukkan pepohonan, penindas berkulit jagung, wajahmu seperti kembang sepatu di dekat api membara dan lainnya. Tak hanya sebagai pemanis, namun sarat akan makna mendalam. Bukan orang Melayu jika tak kenal dengan kiasan, sepertinya itu yang ingin disampaikan Benny Arnas dalam setiap cerpen di samping isi cerita.
Dalam setiap jeda halaman antara satu cerpen dengan cerpen lain, Benny Arnas menyelipkan sketsa-sketsa karya Abdullah Ibnu Thalhah, kartunis dari Tabloid Cempaka, Semarang. Sketsa-sketsa tersebut secara garis besar menggambarkan salah satu fragmen dari kisah yang ingin disampaikan dalam setiap cerpen. Walaupun dari pengamatan saya, ada yang penggambarannya tidak sesuai seperti sketsa untuk cerpen “Muslihat Hujan Panas”.
Walaupun antologi ini terdiri dari 12 ide penceritaan yang menarik, namun bukan perkara mudah untuk memahami setiap ceritanya. Seperti tipikal sastra melayu yang sarat akan diksi, dan kiasan sebagai bunga tulisan menyebabkan pembaca dituntut memilki kesabaran dan konsentrasi ekstra untuk memisahkan antara diksi dan kiasan yang baur sehingga pembaca menyerap makna yang terkandung dalam setiap cerpennya.
Apabila pembaca berhasil mengatasi masalah tersebut, dapat dilihat dalam menuliskan cerita –bahkan yang pelik sekalipun, Benny Arnas dapat memikat pembaca untuk tetap menikmati. Dalam penuturan ideologi, gagasan, dan presepsi, Benny Arnas memiliki cara dan gaya tersendiri sehingga kisah yang ditulisnya memilki tempat tersendiri dihati pembaca. Source


Categories:
Similar Books